Kebebasan dan kemerdekaan memang sudah lama didapatkan oleh Negara Indonesia. Kemerdekaan ini didapatkan dengan jerih payah para pahlawan bangsa yang berani pasang badan untuk Indonesia keluar dari belenggu penjajahan. Tapi rasanya hal ini menjadi janggal ketika kita kembali menengok kondisi demografi negara tercinta ini.
Wanita mungkin adalah pihak yang dapat dikatakan masih dalam “belenggu penjajahan” ini. Bukan dengan senjata, namun dengan budaya, atau permasalahan ekonomi. Hal ini mungkin jarang dialami oleh para wanita yang berada di sekitar perkotaan, namun para wanita yang berada di bagian pelosok Indonesia dihantui dengan kenyataan ini.
Pendidikan yang rendah, permasalahan ekonomi, hingga tradisi turun-temurun memaksa para wanita untuk memendam mimpinya untuk menjadi manusia yang lebih baik. Pernikahan dini menjadi salah satu dari sekian banyak permasalahan yang dihadapi oleh para perempuan remaja di daerah pelosok Indonesia. Beberapa orangtua mungkin berasumsi dengan menikahkan anak perempuannya, akan sedikit
Meringankan beban mereka. Pendidikan bagi anak perempuan menjadi cadangan nomor kesekian untuk diakses karena dianggap pendidikan tidak akan memberikan hasil yang signifikan bagi kemajuan ekonomi keluarga jika dimiliki oleh perempuan. Maka yang terjadi adalah banyak perempuan berusia dibawah 18 tahun yang terpaksa harus menikah karena berbagai faktor, seperti untuk membayar hutang, meringankan beban tanggungan keluarga, tradisi menikah muda dari kebudayaan dan sebagainya.
Data yang dirilis oleh UNICEF menunjukkan sekitar 1,3 juta perempuan di Indonesia telah menikah sebelum usianya 18 tahun pada 2012 dengan berbagai faktor pendorong seperti kondisi ekonomi serta akses pendidikan dan pengetahuan. Hal ini menjadi masalah karena masa muda yang seharusnya dugunakan untuk belajar sebanyak-banyaknya dan mengeksplor dirinya, malah harus terkekang oleh kewajiban setelah menikah tanpa tahu kondisi yang akan dihadapi selanjutnya.
Dengan tidak adanya persiapan yang matang serta pendidikan dan pengetahuan yang memadai, hal ini tentunya akan berdampak kepada masalah psikis remaja yang cenderung labil. Tidak adanya pengetahuan seperti pengelolaan keuangan, urusan rumah tangga serta pengambilan keputusan menjadikan kondisi rumah tangga tersebut bukanlah menjadi lingkungan yang baik bagi anggota keluarga di dalamnya karena ketidaksiapan dalam membangun keluarga.
Bahkan kehidupan yang lebih baik seperti mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi para wanita untuk masa depannya tidak bisa didapatkan akibat tidak dapat meneruskan pendidikannya terlebih dahulu. Alhasil, hal ini juga akan berdampak pada generasi selanjutnya. Jika dibiarkan, roda kemiskinan dan tradisi pernikahan di usia dini tanpa persiapan ini akan terus berputar dan berulang hingga generasi selanjutnya.
Dengan pendidikan yang layak serta kesempatan untuk mendapatkan haknya, wanita mampu berkontribusi dalam perekonomian keluarga dan menyiapkan dirinya untuk mengatur masa depannya saat membangun keluarga kelak, serta menjadi perempuan yang cerdas dalam mendidik generasi penerus bangsa selanjutnya. Wanita juga dapat ikut serta dalam usaha pertumbuhan ekonomi negara dengan kontribusinya melalui pajak penghasilan dari pekerjaan yang didapatkan sehingga pendidikan yang dimiliki menjadi bermanfaat bagi orang-orang disekitarnya.
Bernadetta Summas
International Relations Student in Brawijaya University Malang. Interested in Development and women issue.